Final Liga Champions musim ini akan tuntas ketika Tottenham Hotspur kontra Liverpool di Wanda Metropolitano, Madrid. Tiada yang menyangka keduanya akan berjalan sejauh itu. Tapi di sepakbola, apa yang tidak mungkin, bisa terjadi meski peluangnya amat sangat kecil di atas kertas. Ketika FC Barcelona menghajar Liverpool di Camp Nou dengan tiga gol tanpa balas - salah satunya lewat tendangan bebas emas Lionel Messi - saya kira Barca akan mulus ke final menanti Ajax yang sudah punya modal gol di kandang Spur. Ternyata saya salah. Di Anfield, Liverpool balik menelan Barcelona empat nol, yang membuat mereka unggul total 4-3 atas klub Catalan itu dan mengklaim tiket final. Demikian juga Ajax, meski hanya perlu hasil imbang di kandang, mereka justru dipermalukan tim London itu 2-3. Dengan agregat 3-3, Hotspur lolos karena unggul produktivitas gol di kandang lawan.
Kekompakan Liverpool, selalu membuat segalanya menjadi mungkin. from thestaitstimes.com |
Lalu pasar taruhan rame-rame mengubah indeks taruhan menjelang final yang akan main dua hari lagi. Saat saya ditanya akan menjagokan siapa, saya menunjuk Liverpool. Bagi saya Liverpool adalah simbol semangat pantang menyerah, searah dengan warna seragam dan julukan mereka - Si Merah. Saya bukan menjagokan mereka lantaran mereka telah menumbangkan raksasa Catalan itu - yang adalah salah satu tim idola saya; tapi Liverpool adalah satu klub Inggris yang saya kagumi sejak dulu. Saya akan menulisnya lain waktu. Hotspur? Mohon maaf, saya kurang mengenal mereka. Dulu ketika orang bicara Tottenham Hotspur, yang saya kenal adalah Gary Lineker, Sol Campbell, David Ginola hingga yang terakhir ini adalah striker Timnas Inggris, Harry Kane. Tak ada ikatan emosional dengan klub berkaos putih itu, sehingga sukar bagi saya menjagokan tim yang tidak saya kenal. Meski demikian saya tetap menghormati mereka. Jika bukan Liverpool yang keluar jadi juara, maka Si Kuping Besar itu akan jadi milik anak asuh Mouricio Pochettino.
Dalam catatan saya, sejak digelar tahun 1955/1956; final tanggal 2 Juni nanti adalah final ke-64. Saya sendiri, yang lahir tahun 1981, ternyata baru menonton final Liga Champions – waktu itu namanya Piala Champions atau European Cup - pada tahun 1989. Final pertama ini saya tonton lewat pesawat TV Berwarna 14 inci, sebuah TV tabung yang siarannya cuma TVRI. Waktunya kala itu jam setengah empat subuh, hari Kamis, tanggal 25 Mei. Nah, karena sudah 30 tahun saya menonton – meski ada beberapa final yang pernah terlewatkan, berikut ini akan saya kasih tunjuk, 5 final terbaik Liga Champions yang pernah saya tonton.
1. AC Milan vs Barcelona (Musim 1993/1994)
Massaro dengan kaos Barca - from rtbf.be |
Final yang sungguh luar biasa. Kala itu FC Barcelona adalah the dream team Eropa di bawah asuhan Sang Maestro Johan Cruyff. Mereka favorit juara dan punya duet striker kelaparan, Romario Faria (Brasil) dan Hristo Stoikov (Bulgaria); gelandang cerdas Pep Guardiola, Jose Maria Bakero, dan bek dengan tendangan keras - Ronald Koeman. Mereka nyaris tampil dengan line-up sempurna. Berbeda dengan Milan yang datang tanpa Capitano Franco Baresi dan Billy Costacurta. Kedua diffensore itu adalah jaminan mutu lini pertahanan Milan. Dihantui lini belakang yang rapuh, siapa sangka Fabio Capello justru punya kartu sakti, Marcel Desailly yang sukses meredam segala pergerakan El Barca. Dua gol Daniele Massaro (menit 22’ dan 45+2’) membawa Milan unggul di paruh pertama. Di babak ke-dua, kecerdasan Dejan Savicevic berhasil membuat sebuah gol indah dari tepi kotak penalti (menit 47’); dilengkapi overlap Desailly (menit 58’) dan membuat bola pisang melengkung di atas kepala Zubizareta, kiper Barca. Ini adalah gelar ke-5 Milan. Hal yang membuat saya menaruh final ini sebagai final nomor satu adalah untuk terakhir kalinya saya melihat Marco van Basten, yang menonton pertandingan dari pinggir lapangan. Kala itu, dia masih bergulat dengan cederanya - yang membuat dia akhirnya menyerah dan pensiun setahun kemudian, pada usia 31 tahun, usia yang masih muda untuk seorang striker. Lalu final ini adalah final Piala Champions terakhir di TVRI. Entah sejak tahun berapa TVRI menyiarkan final Piala Champion. Tahun-tahun berikutnya TVRI tidak pernah lagi menyiarkan final Piala/Liga Champions; siaran ini jadi milik TV swasta sampai sekarang.
2. AC Milan vs Steau Bucharest (1988/1989)
from www.acmilan.com |
Inilah final Piala Champions pertama saya. Mungkin karena sejak kecil saya diperkenalkan dengan Milan, hingga sekarang saya adalah fans berat Rossonerri. Milan wakil Italia berhadapan dengan Steau Bucharest dari Rumania di Camp Nou, Barcelona. Ini adalah final ke-tiga Milan, sebelumnya tahun 1963 dan 1969. Semua orang menanti aksi Trio Belanda yang mengguncang Eropa di masa itu. Marco Van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard tampil bersama lagi setelah setahun sebelumnya mereka sukses mengantar Belanda jadi juara di Euro 1988. Dan memang malam itu milik mereka. Gullit mencetak dua gol, bergantian dengan van Basten. Gol ke-tiga Milan sungguh indah, dicetak Gullit lewat tendangan setengah volli dari depan kotak penalti setelah menerima umpan sayap Roberto Donadoni. Setahun kemudian mereka mempertahankan piala ini pada final kontra Benfica, uniknya, giliran Rijkaard yang mencetak satu-satunya gol kemenangan.
3. FC Barcelona vs Sampdoria (1991/1992)
Segera berganti seragam - from fcbarcelona.com |
Piala Champions distempel ulang dengan nama Liga Champions - UEFA Champions League. Pesertanya 32 tim juara dari liga Eropa. Setelah melalui Babak Pertama dan Ke-dua; delapan tim dibagi dalam dua grup, lalu masing-masing juara grup bertemu di final, yang berlangsung di Standion Wembley, London. Final mempertemukan wakil Italia, Sampdoria kontra wakil Spanyol, FC Barcelona pada 20 Mei 1992. El Barca tampil dengan seragam Oranye, sementara Sampdoria masuk lapangan dengan atasan putih dan celana biru. Pertandingan berlangsung alot, meski statistik memihak Barcelona. Ketika 90 menit berakhir tanpa gol, pertandingan dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu. Berulang kali Gianluca Pagliuca, kiper nomor satu Italia membuat penyelamatan gemilang. Tapi adalah canon-ball Ronald Koeman di menit 112' yang tak mampu ia bendung. Gol ini berhasil membawa FC Barcelona mengangkat tropi Liga Champions untuk pertama kalinya. Sepatu milik Koeman pun masuk Museum Barca. Konon, sepatu itu harus menunggu hingga tahun 2006, untuk ditemani sepatu milik Juliano Belleti, pencetak gol penentu ke gawang Arsenal.
4. Liverpool vs AC Milan (2004/2005)
The Miracle of Istanbul - from express.co.uk |
Saya kira ini adalah salah satu final paling menyakitkan bagi saya yang adalah fans Milan setelah final 1993. Sebuah final yang menyajikan sebuah kemustahilan menjadi mungkin. Bayangkan saja Milan yang sudah unggul 3-0 di babak pertama, salah satunya lewat gol Paolo Maldini di menit pertama; lalu dipaksa imbang 3-3 di babak ke-dua, lewat gol Steven Gerrard, Vladimir Smicer, dan Xabi Alonso. Permainan mereka buntu di perpanjangan waktu lalu akhirnya kalah adu penalti. Final ini kemudian dikenal sebagai The Miracle of Istanbul; berlangsung di Stadion Ataturk, Istanbul -Turki. Milan sebenarnya tampil dengan komposisi komplit; Kiper Dida, Cafu, Stam, Nesta, Maldini, Gattuso, Pirlo, Seedorf, Kaka, Sheva dan Crespo. Di fase grup, mereka bahkan sempat meredam favorit juara Barcelona dengan Ronaldinho-nya. Tapi Liverpool - yang kemudian saya kagumi sebagai tim dengan semangat pantang menyerah - punya Steven Gerrard dan pelatih pintar asal Spanyol, Rafael Benitez. Itu sudah cukup membuat The Reds naik podium dan mengangkat tropi Liga Champions ke-5. Lalu di tahun 2007, mereka bertemu lagi dengan formasi yang kurang lebih sama. Kali ini Milan memberi perlawanan. Dua gol Filippo Inzaghi sudah cukup membayar kesalahan Milan dua tahun sebelumnya.
5. Manchester United vs Bayern Muenchen (1998/1999)
Meraih treble - from tribuna.com |
Final ini dianggap sebagai final terbaik sepanjang masa oleh banyak pengamat. Final berlangsung 26 Mei 1999, lagi-lagi di markas Barcelona, Camp Nou. Bayern yang sudah unggul di menit ke-6 lewat tendangan bebas Mario Basler. Lalu setelah sepakan Memet Scholl menghantam tiang dan Carsten Jancker mengenai mistar gawang Peter Schmeichel; berkat kegigihan hingga menit terakhir, MU mengangkat tropi edisi ke-44 itu lewat kaki Teddy Sheringham pada menit 90+1 dan Ole Gunnar Solksjaer pada 90+3. Manchester United mengangkat tropi Liga Champions ke-dua sepanjang sejarah mereka dan melengkapi musim itu dengan Treble - Juara Liga, Juara Piala FA dan Juara Liga Champions. Saya saat itu duduk di kelas 3 SMA, dan menjadi final nonton bareng terakhir dengan teman-teman sekelas.
Poster resmi final 2019 - from en.as.com |
Anda mungkin punya pengalaman lain. Daftar di atas ternyata terlalu “Milan”, dan seharusnya begitu karena saya adalah fans mereka. Meski ada banyak final yang sudah saya nonton, tapi setidaknya lima final di atas adalah final yang selalu membekas di hati. Menjelang edisi ke-64 ini, Real Madrid adalah klub tersukses dengan 13 piala - tiga di antaranya adalah hattrick di zaman pelatih terhebat Zinedine Zidane pada 2016, 2017, dan 2018. Saya menghormati mereka tapi tak pernah menaruh mereka lebih tinggi dari FC Barcelona. Lalu ada Juventus yang sukses di Liga Italia, tapi jumlah tropi mereka tak pernah melampaui 7 tropi AC Milan. Inter Milan? Saya bahkan tidak menonton final mereka tahun 2010. Bayern Muenchen raksasa Jerman dan Liverpool di Inggris adalah tim yang selalu saya jagokan. Entah kebetulan atau tidak, saya menyukai tim yang punya seragam warna merah. Bukankah merah adalah simbol keberanian? Akhirnya siapa pun juara Liga Champions musim ini akan terjawab pada 2 Juni besok. Sekali lagi, saya menjagokan Liverpool, meski Tottenham Hotspur tidak boleh dianggap remeh.
*Ditulis dari kesaksian dan referensi pribadi serta bacaan berharga lainnya – Ole…