Saya akhirnya pulang ke Biak.
Sejak tahun 1999 saya menyeberang ke Kota Jayapura untuk kuliah di Perguruan
Tinggi. Tujuan awal untuk kuliah teknik di Sekolah Tinggi Teknik Jayapura (STTJ
– saat ini dikenal dengan USTJ) gagal total. Ketika di akhir semester III saya
tergabung dalam sebuah gerakan mahasiswa dan dosen di kampus untuk mendesak
mundurnya Rektor. Gerakan ini lambat laun gagal dan kami diskor satu hingga dua
semester. Demi kebaikan kami, semua mahasiswa yang diskors memutuskan untuk meninggalkan
kampus. Dua tahun tidak kuliah serasa berat, saya mencoba peruntungan di
sana-sini. Mencari apa saja yang bisa dikerjakan untuk bertahan hidup. Di
samping tetap menanti kesempatan untuk bisa kuliah lagi.
Tahun 2003, tepatnya di
pertengahan bulan Juli. Saya mendapat kesempatan bekerja di salah satu Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai relawan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan atau disingkat KontraS, demikian nama LSM itu. Modalnya hanya
kemampuan mengetik dengan Microsoft Word
dan bisa membuat kliping yang bagus, juga arsip. Hingga saat ini saya selalu
berpesan pada anak-anak muda, jangan pernah menganggap enteng kemampuan membuat
kliping karena kegiatan itu siapa tahu bisa mengubah nasib. Demikianlah
singkatnya, dengan upah yang kemudian membaik setiap bulan, setahun kemudian
saya akhirnya kembali kuliah. Kali ini bukan ilmu teknik, berkat KontraS, saya
akhirnya masuk Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih. Di hari pertama kuliah,
saya seperti menemukan dunia saya yang sesungguhnya. Hingga akhirnya saya
wisuda lima tahun kemudian, KontraS memberi suport yang luar biasa.
![]() |
Bersama Willy Resubun, (2004). Kini kami berdua memilih jadi PNS |
Pada awalnya saya cuma seorang tukang
ketik dan tukang kliping. Tapi lihat apa yang saya dapat setelah bergabung di
KontraS. Kemampuan mengkritisi kebijakan-kebijakan
pemerintah, kemampuan menganalisa sebuah pernyataan, dan sebagainya. Otak saya
yang dulunya datar-datar, perlahan-lahan dibentuk untuk cukup kritis. Di
KontraS, saya belajar mengatur organisasi, memahami prosedural manajemen dan
bagaimana mengelolah ide yang kreatif. Beberapa skill tambahan pula didapat
seperti teknik investigasi, jurnalistik, desain grafis, dan kampanye. Masih
banyak lagi, tapi biarlah saya sendiri yang tahu. Namun cerita manis itu harus
berakhir. Tepat di bulan Desember 2009, setelah lebih dari enam tahun bersama
LSM ini, saya akhirnya pamit dan pulang ke Biak.
Di Biak, saya menemukan dunia
yang lain. Dunia yang stagnan, konservatif dan kaku. Mengapa demikian?
Berdasarkan hasil dugaan saja, di sini sebagian besar masyarakat bekerja
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), baik di Kabupaten Biak Numfor maupun tempat
saya bekerja. Apa yang dipikirkan seorang PNS? Ini, terima gaji. Lakukan
tugasmu dan setiap awal bulan kau akan terima gaji, belum lagi ada penghasilan
tambahan seperti TPP dan ULP. Setiap triwulan, pejabat struktural menerima
insentif jabatan. Apa ini buruk? Oh, tidak. Masalahnya bukan di situ. Jawab
dulu pertanyaan ini, berapa banyak PNS yang kreatif dan apakah semua ide-idenya
tersalurkan? Saya percaya sangat sedikit. Sehingga sangat sedikit PNS yang
bekerja dengan kretifitas. Selebihnya kaku dan begitu-begitu saja.
PNS bekerja dalam sistem di mana
segala sesuatunya sudah diatur sedemikian rupa. Kreatifitas hanya sekian persen
dalam pekerjaan. Ketika saya menulis seperti ini, singkirkanlah petugas medis
dan guru. Karena bukan mereka yang saya maksud. Lihatnya mereka yang berpakaian
keki dan tiap hari masuk kantor. Lihatlah PNS dalam pangkat Golongan II, juga
sebagian staf di Golongan III. Tanyakan pada mereka apa yang sedang mereka
kerjakan jika kebetulan kalian sedang duduk bersama di bawah pohon atau di
depan warung.
Apa lagi yang dipikirkan seorang
jika kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi? Konservatif, begitu saja. Dengan
demikian pola kehidupan bermasyarakat juga berpengaruh. Tidak ada yang
tegang-tegang amat, mau lihat demo? Tidak ada. Bandingkan dengan Jayapura City.
Anda akan menemukan KNPB, yang tiada henti berdemo mengangkat isu Papua
Merdeka. Di seberangnya ada kelompok Pro NKRI sebagai tandingan. Karena
Jayapura dihuni kaum radikal yang tidak sedikit maka kehidupan masyarakat
mereka selalu dinamis.
Kalau kita berpikir bahwa di
Jayapura justru punya lebih banyak PNS, itu benar. Tetapi kalangan radikal
selalu ada dan bertambah tiap tahun. Mereka kebanyakan datang dari dunia
kampus. Jangan lupa, Universitas Cenderawasih memainkan peran besar dalam
membesarkan kalangan kritis. Mahasiswa datang kuliah, mendapat ilmu lalu pulang
dan menguji ilmunya di lingkungan sekitar. Apa yang didapat dari bapak ibu
dosen, coba diukur di lapangan. Dibentuklah forum-forum diskusi, ada transfer
ilmu, ada tukar menukar ide dan seterusnya. Apalagi jika salah satu narasumber
yang diundang adalah kalangan praktisi; lengkap sudah gambaran sosial yang bisa
dipotret. LSM adalah salah satu kelompok yang sering diundang.
![]() |
Tahun 2009, siapa sangka KontraS Papua yang hebat itu diurus oleh anak-anak muda ini |
Tapi sebenarnya tulisan ini
mengarah pada pengalaman pribadi saya sebagai mantan orang LSM. Ketika baru
pulang dari Jayapura tujuh tahun lalu, saya berjumpa dengan orang-orang yang
mengaku berasal dari LSM ini, LSM itu. Di berita pagi RRI juga ada pengakuan
serupa. Tapi melihat cara kerja mereka, saya melihat ada beberapa hal yang
janggal. Kejanggalan ini menyangkut akuntabilitas, independensi, dan
profesionalisme. Hal ini akan mengarah pada sebuah pertanyaan sederhana saja,
apakah mereka ini benar-benar LSM atau hanya kelompok nasi bungkus.
Di KontraS, kami punya alamat
sekretariat dan nomor telepon yang jelas. Siapa saja bisa datang, sekedar minum
teh, diskusi, minta advokasi, sampai menantang kami. Ada ruang
Koordinator/kepala, ada ruang operasional untuk divisi-divisi operasional,
ruang urusan internal, ruang rapat, hingga dapur dan kamar mandi. Teman-teman
LSM lain seperti ALDP bahkan punya honai untuk santai jika jam kerja sudah
selesai. ElsHAM Papua punya TV, yang membuat kami bisa numpang nonton Persipura
jika away ke Jawa. Kemudian struktur
organisasi yang jelas. KontraS sebagai sebuah perkumpulan terbatas punya dua
pengurus, yakni Dewan Pengurus dan Badan Pekerja. Kontras yang anda temui di
koran saat-saat tertentu adalah kami di Badan Pekerja yang terdiri dari Kepala
disebut Koordinator. Hingga kini KontraS pernah diurus oleh tiga Koordinator;
Kakak Pieter Ell, Kakak Harry Maturbongs, dan terakhir Alm. Olga Hamadi.
Soal konsentrasi kerja, ini yang
penting. Isu utama sebuah LSM tidak asal-asalan. Tidak mengikuti omongan orang
di pasar. Ketika berdiri untuk menyuarakan isu Sumber Daya Alam, atau HAM,
Lingkungan Hidup, Good governance;
itu akan terbawa sampai mati. LSM yang sehat, hanya bicara satu isu saja.
KontraS selalu bicara isu Hak Asasi Manusia, dari dulu, sekarang dan nanti. Bersama-sama
ada LBH, ElsHAM Papua, dan ALDP. Jika ada isu lingkungan hidup, KontraS tidak
akan sibuk karena untuk isu ini sudah ada LSM lain yang mengurusnya, WALHI atau
WWF misalnya. Isu good governance,
biasanya akan disikat habis oleh ICS Papua, yang isinya dosen-dosen saya di FH
Uncen.
Nah, yang saya temui di Biak, sepertinya
cuma LSM Rumsram yang masuk daftar. Mereka punya agenda kerja yang jelas,
alamat yang jelas dan sebagainya. Isunya juga sederhana tapi tidak enteng,
pemberdayaan masyarakat. Sementara LSM
lain justru banyak anehnya. Sebentar-sebentar bicara ini, sebentar-sebentar
bicara itu. Apa yang diomongkan orang di pasar, itu yang akan diomongkan.
Alamatnya di mana, tidak jelas. Ada yang mengaku ketua tapi tidak punya anak
buah, sudah sepuluh tahun ketuanya masih itu-itu juga, ada kegagalan dalam
regenerasi. Mengenai alamat, biasanya sekretariat menggunakan rumah pribadi, bahkan
tidak ada. Seandainya mau dikontak eh,
tersambung dengan ponsel pribadi, lalu ketik dokumen kerja di rental komputer,
dan sebagainya. Jika sudah begini, jangan pernah tanya laporan operasional
tahunan, seperti yang biasa kami bikin dengan KontraS di Jakarta.
Kemudian LSM menjaga jarak dengan
pemerintah supaya tidak dibilang LSM plat merah; karena ada juga LSM yang suka
menunggu remeh-remah yang jatuh dari pemerintah. Dalam hubungan yang saling
menguntungkan dengan pemerintah sering kali LSM akan kehilangan daya kritisnya
terhadap kebijakan pemerintah. Di sini LSM dituntut mandiri, mencari dana
operasional dari donor. Kami dulu di KontraS disponsori ICCO dari Belanda
selama tiga tahun. Apakah ini membuat kami menjual diri demi kepentingan asing.
Sama sekali tidak. Tapi sayang sekali ada banyak kalangan tidak mengerti hal
ini. Sedangkan pihak-pihak yang merasa terganggu dengan kinerja kami, sering
menjual isu murahan. Kami disebut antek-antek asing.
Lembaga donor dalam memberi dana
hibah biasanya sudah mengetahui penerimanya. Dalam forum-forum tertentu, para duta
lembaga donor akan saling bertukar informasi. Apakah lembaga penerima cukup
memenuhi syarat untuk dibantu. Syaratnya lumayan berat. Semakin besar dana
hibah, semakin banyak pula syaratnya. Meski intinya cuma dua, yakni
profesionalisme kerja dan laporan keuangan. Dari mana itu diukur? Dari laporan
tahunan, bos! Baik itu laporan operasional maupun laporan keuangan. Kemudian
soal antek asing tadi, dalam hubungan kerja dengan LSM, sudah ada kesepakatan
bahwa dana hibah yang diberikan tidak boleh digunakan untuk menggulingkan
pemerintahan yang sah, mendanai kegiatan kekerasan, dan terorisme. Tetapi
bagaimana pemerintahan itu didorong untuk memenuhi standar-standar nasional dan
internasional yang sudah ada. Apalagi jika pemerintah sudah meratifikasi
produk-produk hukum internasional ke dalam sistem hukumnya. Aturan hukum kita
mengatur begini, maka dalam prakteknya harus dilakukan
demikian. LSM yang memainkan peran sebagai fungsi kontrol selalu hanya akan
konsen pada satu hal, yakni apakah sesuatu yang sudah dilatih itu sama dengan
yang sedang dimainkan. Sayang seribu sayang, barangkali karena dana hibah yang
diterima LSM cukup besar – dan membuat cemburu, lalu kegiatan yang dilakukan
kadang membuka borok-borok pemerintah yang korup; sering kali “LSM yang benar” disudutkan
dengan sekian banyak cerita.
LSM sejatinya hanya sekumpulan orang-orang
yang berpikiran mulia; bagaimana mereka mengkoordinir dirinya untuk membantu
masyarakat pada umumnya, yang tidak terjangkau tangan penguasa. Di satu sisi
mereka berpikir untuk memberdayakan masyarakat, tapi di sisi lain mereka juga
akan memperjuangkan apa yang menjadi hak-hak masyarakat bila mana dizolimi. Pola
pikir mereka adalah murni mengenai superioritas masyarakat sipil. Dalam poin
ini, mereka jangan diadu dengan isu nasionalisme. Ingat lagu ciptaan Iwan Fals,
Jangan Bicara? Ya, sejahterakan masyarakat dan mereka dengan sendirinya akan
rela mati bagi bangsa dan negaranya. Orang-orang LSM berjuang untuk itu. Kakak
dan mentor saya pernah bilang, bekerja di LSM ibarat bekerja di jalan yang
sunyi. Tapi ada juga mentor saya yang bilang; konon kabarnya suatu kelompok masyarakat
akan maju kalau ada banyak orang LSM di dalamnya. Sekali lagi orang LSM, bukan
organisasi LSM. (Mungkin bersambung....)