Minggu, 28 Agustus 2016

LSM, Sebuah Catatan Pribadi

Saya akhirnya pulang ke Biak. Sejak tahun 1999 saya menyeberang ke Kota Jayapura untuk kuliah di Perguruan Tinggi. Tujuan awal untuk kuliah teknik di Sekolah Tinggi Teknik Jayapura (STTJ – saat ini dikenal dengan USTJ) gagal total. Ketika di akhir semester III saya tergabung dalam sebuah gerakan mahasiswa dan dosen di kampus untuk mendesak mundurnya Rektor. Gerakan ini lambat laun gagal dan kami diskor satu hingga dua semester. Demi kebaikan kami, semua mahasiswa yang diskors memutuskan untuk meninggalkan kampus. Dua tahun tidak kuliah serasa berat, saya mencoba peruntungan di sana-sini. Mencari apa saja yang bisa dikerjakan untuk bertahan hidup. Di samping tetap menanti kesempatan untuk bisa kuliah lagi.
Tahun 2003, tepatnya di pertengahan bulan Juli. Saya mendapat kesempatan bekerja di salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai relawan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau disingkat KontraS, demikian nama LSM itu. Modalnya hanya kemampuan mengetik dengan Microsoft Word dan bisa membuat kliping yang bagus, juga arsip. Hingga saat ini saya selalu berpesan pada anak-anak muda, jangan pernah menganggap enteng kemampuan membuat kliping karena kegiatan itu siapa tahu bisa mengubah nasib. Demikianlah singkatnya, dengan upah yang kemudian membaik setiap bulan, setahun kemudian saya akhirnya kembali kuliah. Kali ini bukan ilmu teknik, berkat KontraS, saya akhirnya masuk Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih. Di hari pertama kuliah, saya seperti menemukan dunia saya yang sesungguhnya. Hingga akhirnya saya wisuda lima tahun kemudian, KontraS memberi suport yang luar biasa.
Bersama Willy Resubun, (2004).  Kini kami berdua memilih jadi PNS
Pada awalnya saya cuma seorang tukang ketik dan tukang kliping. Tapi lihat apa yang saya dapat setelah bergabung di KontraS.  Kemampuan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, kemampuan menganalisa sebuah pernyataan, dan sebagainya. Otak saya yang dulunya datar-datar, perlahan-lahan dibentuk untuk cukup kritis. Di KontraS, saya belajar mengatur organisasi, memahami prosedural manajemen dan bagaimana mengelolah ide yang kreatif. Beberapa skill tambahan pula didapat seperti teknik investigasi, jurnalistik, desain grafis, dan kampanye. Masih banyak lagi, tapi biarlah saya sendiri yang tahu. Namun cerita manis itu harus berakhir. Tepat di bulan Desember 2009, setelah lebih dari enam tahun bersama LSM ini, saya akhirnya pamit dan pulang ke Biak.
Di Biak, saya menemukan dunia yang lain. Dunia yang stagnan, konservatif dan kaku. Mengapa demikian? Berdasarkan hasil dugaan saja, di sini sebagian besar masyarakat bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), baik di Kabupaten Biak Numfor maupun tempat saya bekerja. Apa yang dipikirkan seorang PNS? Ini, terima gaji. Lakukan tugasmu dan setiap awal bulan kau akan terima gaji, belum lagi ada penghasilan tambahan seperti TPP dan ULP. Setiap triwulan, pejabat struktural menerima insentif jabatan. Apa ini buruk? Oh, tidak. Masalahnya bukan di situ. Jawab dulu pertanyaan ini, berapa banyak PNS yang kreatif dan apakah semua ide-idenya tersalurkan? Saya percaya sangat sedikit. Sehingga sangat sedikit PNS yang bekerja dengan kretifitas. Selebihnya kaku dan begitu-begitu saja.
PNS bekerja dalam sistem di mana segala sesuatunya sudah diatur sedemikian rupa. Kreatifitas hanya sekian persen dalam pekerjaan. Ketika saya menulis seperti ini, singkirkanlah petugas medis dan guru. Karena bukan mereka yang saya maksud. Lihatnya mereka yang berpakaian keki dan tiap hari masuk kantor. Lihatlah PNS dalam pangkat Golongan II, juga sebagian staf di Golongan III. Tanyakan pada mereka apa yang sedang mereka kerjakan jika kebetulan kalian sedang duduk bersama di bawah pohon atau di depan warung.
Apa lagi yang dipikirkan seorang jika kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi? Konservatif, begitu saja. Dengan demikian pola kehidupan bermasyarakat juga berpengaruh. Tidak ada yang tegang-tegang amat, mau lihat demo? Tidak ada. Bandingkan dengan Jayapura City. Anda akan menemukan KNPB, yang tiada henti berdemo mengangkat isu Papua Merdeka. Di seberangnya ada kelompok Pro NKRI sebagai tandingan. Karena Jayapura dihuni kaum radikal yang tidak sedikit maka kehidupan masyarakat mereka selalu dinamis.
Kalau kita berpikir bahwa di Jayapura justru punya lebih banyak PNS, itu benar. Tetapi kalangan radikal selalu ada dan bertambah tiap tahun. Mereka kebanyakan datang dari dunia kampus. Jangan lupa, Universitas Cenderawasih memainkan peran besar dalam membesarkan kalangan kritis. Mahasiswa datang kuliah, mendapat ilmu lalu pulang dan menguji ilmunya di lingkungan sekitar. Apa yang didapat dari bapak ibu dosen, coba diukur di lapangan. Dibentuklah forum-forum diskusi, ada transfer ilmu, ada tukar menukar ide dan seterusnya. Apalagi jika salah satu narasumber yang diundang adalah kalangan praktisi; lengkap sudah gambaran sosial yang bisa dipotret. LSM adalah salah satu kelompok yang sering diundang.

Tahun 2009, siapa sangka KontraS Papua yang hebat itu diurus oleh anak-anak muda ini
Tapi sebenarnya tulisan ini mengarah pada pengalaman pribadi saya sebagai mantan orang LSM. Ketika baru pulang dari Jayapura tujuh tahun lalu, saya berjumpa dengan orang-orang yang mengaku berasal dari LSM ini, LSM itu. Di berita pagi RRI juga ada pengakuan serupa. Tapi melihat cara kerja mereka, saya melihat ada beberapa hal yang janggal. Kejanggalan ini menyangkut akuntabilitas, independensi, dan profesionalisme. Hal ini akan mengarah pada sebuah pertanyaan sederhana saja, apakah mereka ini benar-benar LSM atau hanya kelompok nasi bungkus.
Di KontraS, kami punya alamat sekretariat dan nomor telepon yang jelas. Siapa saja bisa datang, sekedar minum teh, diskusi, minta advokasi, sampai menantang kami. Ada ruang Koordinator/kepala, ada ruang operasional untuk divisi-divisi operasional, ruang urusan internal, ruang rapat, hingga dapur dan kamar mandi. Teman-teman LSM lain seperti ALDP bahkan punya honai untuk santai jika jam kerja sudah selesai. ElsHAM Papua punya TV, yang membuat kami bisa numpang nonton Persipura jika away ke Jawa. Kemudian struktur organisasi yang jelas. KontraS sebagai sebuah perkumpulan terbatas punya dua pengurus, yakni Dewan Pengurus dan Badan Pekerja. Kontras yang anda temui di koran saat-saat tertentu adalah kami di Badan Pekerja yang terdiri dari Kepala disebut Koordinator. Hingga kini KontraS pernah diurus oleh tiga Koordinator; Kakak Pieter Ell, Kakak Harry Maturbongs, dan terakhir Alm. Olga Hamadi.
Soal konsentrasi kerja, ini yang penting. Isu utama sebuah LSM tidak asal-asalan. Tidak mengikuti omongan orang di pasar. Ketika berdiri untuk menyuarakan isu Sumber Daya Alam, atau HAM, Lingkungan Hidup, Good governance; itu akan terbawa sampai mati. LSM yang sehat, hanya bicara satu isu saja. KontraS selalu bicara isu Hak Asasi Manusia, dari dulu, sekarang dan nanti. Bersama-sama ada LBH, ElsHAM Papua, dan ALDP. Jika ada isu lingkungan hidup, KontraS tidak akan sibuk karena untuk isu ini sudah ada LSM lain yang mengurusnya, WALHI atau WWF misalnya. Isu good governance, biasanya akan disikat habis oleh ICS Papua, yang isinya dosen-dosen saya di FH Uncen.
Nah, yang saya temui di Biak, sepertinya cuma LSM Rumsram yang masuk daftar. Mereka punya agenda kerja yang jelas, alamat yang jelas dan sebagainya. Isunya juga sederhana tapi tidak enteng, pemberdayaan masyarakat.  Sementara LSM lain justru banyak anehnya. Sebentar-sebentar bicara ini, sebentar-sebentar bicara itu. Apa yang diomongkan orang di pasar, itu yang akan diomongkan. Alamatnya di mana, tidak jelas. Ada yang mengaku ketua tapi tidak punya anak buah, sudah sepuluh tahun ketuanya masih itu-itu juga, ada kegagalan dalam regenerasi. Mengenai alamat, biasanya sekretariat menggunakan rumah pribadi, bahkan tidak ada. Seandainya mau dikontak eh, tersambung dengan ponsel pribadi, lalu ketik dokumen kerja di rental komputer, dan sebagainya. Jika sudah begini, jangan pernah tanya laporan operasional tahunan, seperti yang biasa kami bikin dengan KontraS di Jakarta.
Kemudian LSM menjaga jarak dengan pemerintah supaya tidak dibilang LSM plat merah; karena ada juga LSM yang suka menunggu remeh-remah yang jatuh dari pemerintah. Dalam hubungan yang saling menguntungkan dengan pemerintah sering kali LSM akan kehilangan daya kritisnya terhadap kebijakan pemerintah. Di sini LSM dituntut mandiri, mencari dana operasional dari donor. Kami dulu di KontraS disponsori ICCO dari Belanda selama tiga tahun. Apakah ini membuat kami menjual diri demi kepentingan asing. Sama sekali tidak. Tapi sayang sekali ada banyak kalangan tidak mengerti hal ini. Sedangkan pihak-pihak yang merasa terganggu dengan kinerja kami, sering menjual isu murahan. Kami disebut antek-antek asing.
Lembaga donor dalam memberi dana hibah biasanya sudah mengetahui penerimanya. Dalam forum-forum tertentu, para duta lembaga donor akan saling bertukar informasi. Apakah lembaga penerima cukup memenuhi syarat untuk dibantu. Syaratnya lumayan berat. Semakin besar dana hibah, semakin banyak pula syaratnya. Meski intinya cuma dua, yakni profesionalisme kerja dan laporan keuangan. Dari mana itu diukur? Dari laporan tahunan, bos! Baik itu laporan operasional maupun laporan keuangan. Kemudian soal antek asing tadi, dalam hubungan kerja dengan LSM, sudah ada kesepakatan bahwa dana hibah yang diberikan tidak boleh digunakan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, mendanai kegiatan kekerasan, dan terorisme. Tetapi bagaimana pemerintahan itu didorong untuk memenuhi standar-standar nasional dan internasional yang sudah ada. Apalagi jika pemerintah sudah meratifikasi produk-produk hukum internasional ke dalam sistem hukumnya. Aturan hukum kita mengatur begini, maka dalam prakteknya harus dilakukan demikian. LSM yang memainkan peran sebagai fungsi kontrol selalu hanya akan konsen pada satu hal, yakni apakah sesuatu yang sudah dilatih itu sama dengan yang sedang dimainkan. Sayang seribu sayang, barangkali karena dana hibah yang diterima LSM cukup besar – dan membuat cemburu, lalu kegiatan yang dilakukan kadang membuka borok-borok pemerintah yang korup; sering kali “LSM yang benar” disudutkan dengan sekian banyak cerita.

LSM sejatinya hanya sekumpulan orang-orang yang berpikiran mulia; bagaimana mereka mengkoordinir dirinya untuk membantu masyarakat pada umumnya, yang tidak terjangkau tangan penguasa. Di satu sisi mereka berpikir untuk memberdayakan masyarakat, tapi di sisi lain mereka juga akan memperjuangkan apa yang menjadi hak-hak masyarakat bila mana dizolimi. Pola pikir mereka adalah murni mengenai superioritas masyarakat sipil. Dalam poin ini, mereka jangan diadu dengan isu nasionalisme. Ingat lagu ciptaan Iwan Fals, Jangan Bicara? Ya, sejahterakan masyarakat dan mereka dengan sendirinya akan rela mati bagi bangsa dan negaranya. Orang-orang LSM berjuang untuk itu. Kakak dan mentor saya pernah bilang, bekerja di LSM ibarat bekerja di jalan yang sunyi. Tapi ada juga mentor saya yang bilang; konon kabarnya suatu kelompok masyarakat akan maju kalau ada banyak orang LSM di dalamnya. Sekali lagi orang LSM, bukan organisasi LSM. 
(Mungkin bersambung....)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar