Kamis, 21 Juni 2018

ARGENTINA, DON'T CRY


Piala Dunia 2018 berlangsung di Russia, ini adalah edisi ke-21 dengan Brasil masih di muka sebagai pengumpul bintang terbanyak, disusul Jerman dan Italia. Jaman sudah berubah dan perkembangan sepakbola belakangan ini menghasilkan banyak muka baru di Piala Dunia. Belanda dan Italia gagal lolos, gantinya adalah Islandia, sebuah negara di pulau kecil di utara Atlantik. Chile dan USA diganti Panama dan Peru - yang lolos dari play-off.

Kali ini di Russia ada banyak kejutan. Di pertandingan pertama, kejutan paling besar adalah Jerman dikalahkan Mexico, dan duo latin Amerika, Argentina dan Brasil ditahan imbang. Padahal prediksi banyak pengamat mengira mereka akan menang mudah dari lawan-lawannya. Jerman meskipun unggul possession dari Mexico, tapi tidak bisa mencegah Lazano, striker PSV Eindhoven untuk membobol gawang Neuer. Kemudian gol Kun Aguero memberi harapan ke Argentina, tapi begitu mereka salah perhitungan dan Islandia membalas, Argentina di sisa pertandingan itu harus bertemu tembok paling dingin di dunia. Lionel Messi bergerak dengan tarian khasnya seperti di FC Barca tapi tak ada satupun yang sukses. Di Brasil, sepakan fantastis dari Cautinho membuat orang mengira pertandingan akan jadi milik Brasil; tapi passing Swiss yang nyaris sempurna meniru Jerman membuahkan gol membuat banyak orang kalah taruhan.

Kemudian di pertandingan ke-dua, hasil yang tidak disangka-sangka adalah ketika Argentina dibantai Kroasia tiga gol tanpa balas semalam. Argentina punya pemain terbaik Dunia, Lionel Messi. Tapi sang bintang tidak bisa berbuat banyak. Kroasia sebagai representasi Eropa Timur sejak dulu selalu menghadirkan kejutan. Tengok Yugoslavia (90), Bulgaria (94), Kroasia (98), dan Ukraina (2006). Kini dari Russia 2018, setelah dua pertandingan Argentina terancam tidak lolos dan baru punya poin 1 dan selisih gol (-3) dari selisih gol 1-4.


Mereka yang berumur dua puluh tahun ke bawah mungkin tidak pernah merasakan bagaimana hambarnya fase knock out Piala Dunia tanpa Argentina. Sejak Piala Dunia Tahun 1986 dimenangi oleh Diego Maradona dan kawan-kawan, Argentina selalu favorit.

Tahun 1990 sebagai Juara Bertahan, mereka hampir tidak lolos fase penyisihan, kalah 0-1 dari Kamerun di pembukaan, menang 2-0 lawan Uni Sovyet di laga ke-dua, dan akhirnya ditahan imbang Romania 1-1 di laga ke-tiga. Argentina finish di posisi ke-3 klasemen dengan poin 3. Kala itu menang satu kali masih dihargai 2 poin. Aturan ini baru berubah di Euro 1992 kalau saya tidak salah ingat. Untungnya di Piala Dunia 1990 cuma ada 24 peserta, jadi posisi 3 di klasemen masih diperhitungkan. 





















Di fase knock out/gugur Perdelapan Final, sebagai urutan 3 Grup B, mereka jumpa Juara Grup C, Brasil yang adalah rival abadi mereka. Brasil tidak terkalahkan dalam tiga pertandingan. Laga itu berlangsung sengit di Delle Alpi, Turin. Dua Argentina mendapat kartu kuning di babak pertama, lalu di babak ke-dua giliran dua Brasil. Menjelang pertandingan bubar dan mungkin orang akan berpikir mengenai perpanjangan waktu, satu gerakan Maradona di tengah lapangan Brasil menarik empat pemain Selecao ke arahnya lalu membiarkan Claudio Caniggia berdiri bebas. Maradona melepas assist dan Caniggia tinggal berhadapan dengan kiper Taffarel. Gol di menit ke-81 sudah cukup, apalagi empat menit kemudian Richardo Gomes, bek Brasil kena kartu merah. Seusai pertandingan Careca, rekan setim Maradona di Napoli datang dan menangis tersedu-sedu dalam pelukan Maradona.

Di Perempat Final, Argentina menghadapi tim kuat asal Eropa Timur, Yugoslavia. Negara ini sudah pecah berkeping-keping sekarang. Dua pemainnya Robert Prosinecki dan Robert Jarni, kelak main di Kroasia pada Piala Dunia 1998. Pertandingan alot hingga 2x45 menit dan perpanjangan waktu. Argentina menghadapi adu penalti yang luar biasa di Stadio Comunale, Florence. Tiga pemain Yugoslavia gagal, demikian juga dua pemain Argentina dan jangan kaget, salah satunya adalah Maradona. Skor akhir 3-2 untuk Argentina cukup menghantar mereka ke semifinal penuh emosi kala berhadapan dengan tuan rumah Italia.
















Argentina bertemu Italia di San Paulo, Naples. Di kota dan stadion yang sudah menjadi rumah Maradona. Konon suporter Napoli justru balik mendukung Argentina karena dewa mereka, Maradona. Napoli di Seri A (Liga Italia) dulunya bukan apa-apa. Tapi ketika Maradona datang dan bersama Alemao dan Careca dari Brasil, mereka menyumbang dua gelar scudetto, satu di musim 86/87 dan satunya lagi 89/90 atau di tahun itu. Hingga saat ini Napoli tak pernah lagi juara. Musim lalu mereka finish di urutan 2 setelah Juventus. Italia bukan tanpa peluang, mereka punya top skorer Salvatore Schillaci dan talenta brilian seperti Roberto Baggio.











Pertandingan baru berjalan tujuh belas menit ketika Italia menggempur Argentina, adalah Giuseppe Gianinni gelandang AS Roma yang memberi umpan brilian ke Gianluca Vialli dan pendukung Argentina senyap. Tembakan Vialli berhasil diblok Sergio Goycoechea, namun bola justru jatuh di kaki Schillaci. Gool...!! pemain Italia berlarian menuju dia yang lari ke sisi kanan Argentina. Hingga turun minum, Italia memimpin. Di babak ke-dua, Argentina balik menekan Italia. Hingga menit ke-67, sebuah skema serangan cepat diotaki Maradona. Dan sebuah umpan brilian yang tanggung dibaca oleh Walter Zenga jadi petaka tuan rumah. Bola umpan Jose Olarticoechea seolah mencari kepala Claudio Caniggia. Walter Zenga berusaha maju menepis atau mungkin meninju bola, tapi Caniggia lebih cepat dan gawang Italia bobol. Babak perpanjangan waktu seolah tidak masuk hitungan dan semua orang menunggu adu penalti.











Adu penalti, penendang pertama, Franco Baresi membuat Italia unggul, tapi cepat dibalas Jose Serrizuela; Roberto Baggio sukses, demikian juga Jorge Burruchaga; Luigi de Agostini disamakan Olarticoechea, hingga giliran tendangan sayap AC Milan, Roberto Donadoni yang sukses ditepis lalu Maradona maju dan membawa Argentina memimpin 3-4. Penendang terakhir Italia Aldo Serena justru menobatkan Goycoechea sebagai kiper Argentina terhebat dalam urusan adu penalti. Argentina menang dan menuju final melawan Jerman Barat di Roma. 














Tadi malam Argentina hancur lebur di tangan Kuda Hitam Kroasia dengan skor yang saya sendiri tidak prediksi. Lionel Messi menjadi sorotan. Kroasia sebagai tim Kuda Hitam - artinya tidak diunggulkan tapi bisa bersinar di turnamen - begitu menyulitkan Argentina. Kroasia tampil disiplin. Berbeda dengan Islandia yang menumpuk pemainnya di dalam kotak penalti, Kroasia justru bermain zona marking dan berdiri di luar kotak. Dua gelandang terbaik saat ini, Modric dan Rakitic meski di La Liga adalah rival, tampil padu dan menjadi inspirasi kemenangan Kroasia

Kini Argentina terdampar di posisi 3 klasemen. Masih ada peluang, jika mereka di laga terakhir harus menang besar lawan Nigeria, untuk kemudian saling hitung gol dengan Islandia. Sulit memang, tapi inti cerita di atas adalah gambaran bahwa situasi seperti ini pernah dialami pada Piala Dunia 1990. Mereka maju dari urutan ke-3 grup B hingga tiba di final lalu dihentikan Jerman Barat.

Apakah mereka akan menang dan lolos ke perdelapan final? Ah itu semua kan tergantung pelatih dan squad Argentina. Peluang terakhir ini kalau dibuang maka kita akan menyaksikan dua kuda hitam dari grup ini di Perdelapan Final; Kroasia sudah pasti, tapi Nigeria dan Islandia juga punya peluang. Kita yang nonton tinggal pilih mau nonton terus atau menganggap Piala Dunia ini sudah selesai, ketika Argentina akhirnya tidak lolos. Amin!

*Gambar diambil dari berbagai sumber di Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar