Kamis, 05 Maret 2020

Rangkong, Enggang, Julang (Burung)

Saya mengenalnya dengan nama Burung Taon-taon. Apakah kita memang menulisnya demikian - seperti menulis Kura-kura, Cumi-cumi, dan Lumba-lumba – ataukah “Taontaon” saja. Belakangan saya mendapati asal-usul nama ini berasal dari orang Minahasa, Sulawesi Utara. Burung Taon atau Taong memiliki ciri fisik yang unik serta memiliki lebih dari satu nama, antara lain Rankong, Enggang, dan Julang. 

Burung Rangkong Papan (sumber:pinterest-reddit.com)


Dari Wikipedia Indonesia, ditulis seperti ini; 
Enggang, Rangkong, Julang, Kangkareng (bahasa Inggris: Hornbill) adalah sejenis burung yang mempunyai paruh berbentuk tanduk sapi tetapi tanpa lingkaran. Biasanya paruhnya itu berwarna terang. Nama ilmiahnya "Buceros" merujuk pada bentuk paruh, dan memiliki arti "tanduk sapi" dalam Bahasa Yunani.
Burung Enggang tergolong dalam familia Bucerotidae yang termasuk 57 spesies. Sembilan spesies dari padanya berasal endemik di bagian selatan Afrika. Makanannya terutama buah-buahan juga kadal, kelelawar, tikus, ular dan berbagai jenis serangga.

Sementara Wikipedia (Bahasa Inggris) menulis kurang lebih sama;
The hornbills (Bucerotidae) are a family of bird found in tropical and subtropical Africa, Asia and Melanesia. They are characterized by a long, down-curved bill which is frequently brightly colored and sometimes has a casque on the upper mandible. Both the common English and the scientific name of the family refer to the shape of the bill, "buceros" being "cow horn" in Greek. Hornbills have a two-lobed kidney. They are the only birds in which the first and second neck vertebrae (the atlas and axis respectively) are fused together; this probably provides a more stable platform for carrying the bill. The family is omnivorous, feeding on fruit and small animals. They are monogamous breeders nesting in natural cavities in trees and sometimes cliffs. A number of mainly insular species of hornbill with small ranges are threatened with extinction, namely in Southeast Asia.
Pengalaman saya dengan burung ini tidak terlupakan. Dulu di Kompleks Lanal Biak, tempat saya tinggal dengan Kakek saya – seorang PNS TNI AL - ada seekor Enggang yang dipelihara anggota TNI, saya lupa nama burung nya. Tapi rupanya dia Enggang dewasa. Jantan, tubuh dan sayapnya hitam, lehernya coklat ke-emas-an, paruhnya putih kusam dan ekor berwarna putih. Burung ini sering terbang ke seputar kompleks sehingga cukup dikenal. Tingkahnya aneh, apa saja dia ambil. Suatu kali saya menyaksikan burung ini mencuri sabun cuci tetangga. Entah untuk apa. Bagi kami yang anak kecil, kalau burung ini sudah datang, kebanyakan akan lari bersembunyi karena takut. Ada juga yang mencari posisi untuk melemparnya dengan batu atau ketepel.

Julang Irian, persis seperti yang pernah hidup di kompleks Lanal Biak
(sumber: pinterest - http://cornforthimages.com/blog/page/26/)
Si Rangkong ini sesekali agresif, menyerang manusia. Suatu pagi ketika saya akan diantar ke TK oleh Mama Ade (Bibi), ternyata burung rangkong sialan ini sudah membuntuti kami, lalu tiba-tiba terbang ke arah Mama Nelly dan hendak mematuk kepalanya. Sayapnya yang bergema tidak bisa menolong dia melakukan operasi senyap. Mama segera melindungi kepala dan rangkong itu pun pergi dalam keadaan malu. Sesampainya kami di pos depan, saya yang marah segera melapor ke para petugas jaga. Dasar anak kecil, laporan saya malah ditertawai. Namun beberapa waktu kemudian, kalau saya tidak salah mengingat, atas perintah Danlanal, burung rangkong itu di-terminate karena ulahnya dinilai membahayakan warga di kompleks. Ada juga versi lain yang bilang, burung itu akhirnya tua dan mati. Kami yang masih anak-anak akhirnya bisa bermain di luar lagi tanpa takut. 

Malabar-pied hornbill (Anthracoceros coronatus) - Enggang Malabar dari India-Sri langka 

(sumber: wikipedia.com/hornbill)

Burung Julang hidup di hutan tropis dan subtropik Afrika, Asia dan Melanesia. Saya sangat yakin bahwa Julang yang pernah hidup di kompleks kami adalah jenis Julang Irian/Papua dengan nama latin Rhyticeros plicatus. Julang Papua dalam bahasa Inggris disebut Blyth’s hornbill. “Blyth” diambil dari nama Edward Blyth (1810–1873), seorang zoologis Inggris juga kurator Museum the Asiatic Society of Bengal (di manakah itu? – Kalkuta, India).

Si Rhyticeros plicatus ini ternyata masih memiliki sub-spesies, semacam variasi dari jenisnya yang berjumlah enam varian. Seperti dipaparkan dari Wikipedia, berikut adalah sub spesies Julang Papua:
  1. R. p. plicatus (Forster, 1781) – hidup di selatan Maluku;
  2. R. p. ruficollis (Vieillot, 1816) – hidup di utara Maluku, Papua, daerah timur provinsi Southern Highlands dan Simbu, Papua Niugini (PNG);
  3. R. p. jungei (Mayr, 1937) – hidup di daerah timur PNG, juga di barat sepanjang area Sungai Fly;
  4. R. p. dampieri (Mayr, 1934) – hidup di Kepulauan Bismarck (timur laut PNG);
  5. R. p. harterti (Mayr, 1934) – hidup di Kepulauan Bougainville and Buka (timur laut PNG)
  6. R. p. mendanae (Hartert, 1924) – hidup di Kepulauan Solomon dari Choiseul sampai Guadalcanal dan Malaita

Bertolak dari pengalaman saya di masa kecil, kesan saya terhadap Burung Enggang ini selalu negatif. Saya menganggapnya sebagai burung yang menakutkan. Kesan itu perlahan sirna, ketika saya mendengar cerita dari beberapa orang. Mereka pernah memburu burung ini di Jayapura. Bapa Ade (paman) saya, Max alias Yance bercerita bahwa ia pernah menembak jatuh dua ekor burung Enggang di hutan belakang Abepura. Dagingnya keras minta ampun, jadi perlu waktu agak lama untuk memasaknya. Lalu saya bersama Felix Koibur pernah tinggal di hutan Bonggo selama dua minggu. Setiap sorenya, kami melihat burung ini terbang mencari tempat tidur. Uniknya, mereka selalu terbang dalam jumlah genap. Sayapnya menderu, wus-wus-wus! Kalau kami mendengar suara seperti itu, tahulah kami bahwa ada burung Enggang sedang terbang di dekat kami.

Enggang selalu terbang dan tidur berkelompok
(sumber pinterest - https://twitter.com/parveenkaswan/status/1203569504250257408?s=12)

Lalu ketika saya mulai tinggal di pinggiran Darfuar tahun 2016, suatu sore di luar rumah saya mendengar suara itu. Hati saya langsung berkata, “Taon-taon!” Saya mencari ke atas pepohonan, nampak dua ekor Taon sedang terbang. Sesungguhnya saya bingung, “Bagaimana mungkin burung ini ada di sini, di hutan Biak ini?” Bukankah burung ini hanya ada di “Tanah Besar”. Aneh menurut saya. Saya seperti tidak percaya bisa melihat ada burung besar itu di hutan belakang rumah saya. Setahun berikutnya, jumlah mereka menjadi tiga. Apakah satunya itu anak mereka? Di manakah sarangnya?

Akhirnya, beberapa hari lalu, betapa kagum-nya saya, ketika saya dengan kepala dan mata menyaksikan ada empat ekor burung Taon-taon terbang sombong di atas rumah. Woow, apakah hutan ini telah menjadi rumah mereka, sedangkan kadang-kadang bunyi chain-saw meraung-raung di kejauhan seraya pohon-pohon besar tumbang. Semoga Tuhan melindungi mereka, atau mungkin saya akhiri tulisan ini begini, semoga mereka bukan pembawa virus Corona yang menakutkan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar