Saya terbangun di suatu
malam, kala itu pertengahan tahun 1990. Umur saya belum genap 9 tahun ketika Piala Dunia
1990 berlangsung di Italia. Dini hari itu pada waktu kami, bertempat di Milan,
bertemu dua musuh bebuyutan Eropa; Jerman Barat dan Belanda di Babak per delapan
Final. Suatu pertandingan yang tak disangka kemudian menentukan siapa tim
favorit saya seumur hidup.
Untuk bocah seumuran saya
yang seharusnya melanjutkan tidur, pertandingan itu sungguh luar biasa. Belanda
yang dua tahun sebelumnya keluar sebagai juara Eropa di Tanah Jerman kali ini
bertemu lagi dengan Jerman Barat dibawah asuhan “Sang Kaisar” Franz Beckenbauer
yang sangat solid dan produktif. Belanda juga datang dengan status favorit
juara. Namun adakah yang tahu bahwa Si Oranje sebenarnya sedang terpecah. Ada
pengkotak-kotakan dalam kubu yang dihuni pemain-pemain terbaik Eropa kala itu.
Sementara Jerman Barat begitu kompak dan stabil di segala lini.
Pertandingan berjalan baik,
di awal-awal babak pertama, Belanda memegang kendali. Frank Rijkaard yang
gemilang bersama Marco van Basten di AC Milan untuk sesaat bermain seperti di
klubnya. Rijkaard tidak lagi tampil sebagai
Tapi kemudian insiden itu
berlangsung. Frank Rijkaard termakan provokasi Rudi Voller. Dan dalam sebuah
tebasan, Voller tersungkur. Wasit memberi kartu kuning untuk Rijkaard. Bola
mati untuk Jerman Barat. Sambil berjalan, Rijkaard meludah ke rambut Voller.
Berikutnya aksi
Seperti kata Ruud Gullit
kemudian, kehilangan Rijkaard di tubuh Belanda ternyata lebih fatal dibandingkan
Voller di Jerman Barat. Skema permainan Belanda porak poranda hingga babak pertama
usai. Jerman Barat kemudian sangat cerdas memanfaatkan kelemahan Belanda. Di
babak ke-dua, yang saya ingat, sebuah gol cantik lahir dari kaki Juergen
Klinsmann setelah sukses memotong umpan Guido Buchwald, juga gol Andreas Brehme
yang cerdas melihat kesalahan posisi van Breukelen. Belanda “hanya” membalas
lewat kaki Ronald Koeman dari titik penalti.
Ayah saya tampak kecewa
dengan kekalahan ini. Beliau mungkin fans Belanda sejak lahir. Kisah Belanda
juara Eropa 88 ternyata tinggal cerita. Sementara saya, malam itu begitu bangga
dengan tim Jerman Barat. Mereka melangkah terus ke babak selanjutnya, hingga
semifinal klasik melawan Inggris. Dan akhirnya menang tipis atas Argentina
di final yang tidak saya tonton.
Mereka juara dunia lewat gol penalti
Andreas Brehme di ujung babak ke-dua. Saya senang, bergembira dengar berita itu
lewat Tabloid BOLA. Sejak saat itu Jerman selalu di hati. Meski dalam
tahun-tahun berikutnya saya mengidolakan Belanda namun hati saya tetap
mengingat Jerman. Yaa, jatuh cinta pada Jerman sebenarnya sudah terjadi saat
mereka menang di Milan malam itu. I Love West Germany....
PS;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar