Kamis, 02 Juni 2016

I LOVE (WEST) GERMANY

Saya terbangun di suatu malam, kala itu pertengahan tahun 1990. Umur  saya belum genap 9 tahun ketika Piala Dunia 1990 berlangsung di Italia. Dini hari itu pada waktu kami, bertempat di Milan, bertemu dua musuh bebuyutan Eropa; Jerman Barat dan Belanda di Babak per delapan Final. Suatu pertandingan yang tak disangka kemudian menentukan siapa tim favorit saya seumur hidup.


Untuk bocah seumuran saya yang seharusnya melanjutkan tidur, pertandingan itu sungguh luar biasa. Belanda yang dua tahun sebelumnya keluar sebagai juara Eropa di Tanah Jerman kali ini bertemu lagi dengan Jerman Barat dibawah asuhan “Sang Kaisar” Franz Beckenbauer yang sangat solid dan produktif. Belanda juga datang dengan status favorit juara. Namun adakah yang tahu bahwa Si Oranje sebenarnya sedang terpecah. Ada pengkotak-kotakan dalam kubu yang dihuni pemain-pemain terbaik Eropa kala itu. Sementara Jerman Barat begitu kompak dan stabil di segala lini.



Pertandingan berjalan baik, di awal-awal babak pertama, Belanda memegang kendali. Frank Rijkaard yang gemilang bersama Marco van Basten di AC Milan untuk sesaat bermain seperti di klubnya. Rijkaard tidak lagi tampil sebagai
Tapi kemudian insiden itu berlangsung. Frank Rijkaard termakan provokasi Rudi Voller. Dan dalam sebuah tebasan, Voller tersungkur. Wasit memberi kartu kuning untuk Rijkaard. Bola mati untuk Jerman Barat. Sambil berjalan, Rijkaard meludah ke rambut Voller. Berikutnya aksi



Seperti kata Ruud Gullit kemudian, kehilangan Rijkaard di tubuh Belanda ternyata lebih fatal dibandingkan Voller di Jerman Barat. Skema permainan Belanda porak poranda hingga babak pertama usai. Jerman Barat kemudian sangat cerdas memanfaatkan kelemahan Belanda. Di babak ke-dua, yang saya ingat, sebuah gol cantik lahir dari kaki Juergen Klinsmann setelah sukses memotong umpan Guido Buchwald, juga gol Andreas Brehme yang cerdas melihat kesalahan posisi van Breukelen. Belanda “hanya” membalas lewat kaki Ronald Koeman dari titik penalti.
Ayah saya tampak kecewa dengan kekalahan ini. Beliau mungkin fans Belanda sejak lahir. Kisah Belanda juara Eropa 88 ternyata tinggal cerita. Sementara saya, malam itu begitu bangga dengan tim Jerman Barat. Mereka melangkah terus ke babak selanjutnya, hingga semifinal klasik melawan Inggris. Dan akhirnya menang tipis atas Argentina di final yang tidak saya tonton.



Mereka juara dunia lewat gol penalti Andreas Brehme di ujung babak ke-dua. Saya senang, bergembira dengar berita itu lewat Tabloid BOLA. Sejak saat itu Jerman selalu di hati. Meski dalam tahun-tahun berikutnya saya mengidolakan Belanda namun hati saya tetap mengingat Jerman. Yaa, jatuh cinta pada Jerman sebenarnya sudah terjadi saat mereka menang di Milan malam itu. I Love West Germany....

PS;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar