Kemarin, hari Rabu, 10 Agustus 2011; saya
bersama si kecil Lionel berkesempatan menonton karnaval. Kapan terakhir kali
saya nonton atau lebih tepat sebenarnya berpartisipasi? Tahun 1997. Tentu sudah
sangat lama, apalagi beberapa tahun kemudian, tidak ada lagi karnaval. Kegiatan
karnaval dalam rangka memeriahkan HUT Proklamasi RI ini merupakan produk asli
zaman Orde Baru. Selama Soeharto berkuasa, selalu ada karnaval di bulan Agustus.
Dan di Biak, karnaval adalah tradisi tahunan. Namun setelah Soeharto tumbang,
tak ada lagi karnaval.
Dulu waktu saya masih SD, SMP, dan SMA;
kegiatan ini disebut Karnaval Pembangunan. Setiap sekolah memamerkan hasil
pembangunan yang sudah dicapai (pemerintah) Indonesia. Kegiatan ini selalu
dipenuhi antusiasme. Dan jadi acara yang selalu dipikirkan setiap anak sekolah
selain ulang tahunnya dan natal (bagi yang kristen).
Tapi sudahlah, saya tidak akan mempersoalkan
latar belakang atau apakah karnaval ini sudah mempertunjukkan situasi riil
pembangunan yang sedang terjadi. Karnaval pembangunan bisa dilihat dari banyak
sudut pandang. Dan kali ini yang ini saya tulis cuma lembaran lalu yang begitu
berarti.
Saya berlari mundur ke tahun 1995, kala saya
masih kelas 3 SMP. Saya kira situasinya tidak jauh berbeda dengan sekarang;
menjelang HUT Proklamasi Kemerdekaan RI, ada banyak kegiatan yang dilaksanakan
untuk memeriahkannya. Ada gerak jalan tingkat sekolah, gerak jalan tingkat
umum, karnaval pembangunan tingkat sekolah, dan karnaval kendaraan hias.
Antusiasme untuk ikut serta begitu terasa menjelang bulan Agustus. Saya mau
jadi ini, jadi itu dan sebagainya.
Dua tahun sebelumnya berturut-turut saya
selalu jadi pejuang RI hanya karena ingin main meriam karbit. Dalam setahun
hanya ada dua kali kesempatan untuk bisa bikin bunyi-bunyian super itu; waktu
karnaval dan natal-tahun baru. Pejuang versi karnaval jadi favorit anak-anak
yang maunya bebas. Karena barisan pejuang selalu paling belakang dan bisa lari
ke sana-kemari tanpa perlu kaku dalam barisan. Dan yang paling penting, para
pejuang bisa “tembak” penonton dengan meriam.
Saya sudah tidak ingat kapan waktu tepatnya.
Tapi jelas saat itu saya dan teman-teman sudah di tahun terakhir SMP YPPK Biak.
Ketika itu pelaksanaan karnaval semakin dekat. Berbeda dengan tahun sebelumnya
dimana kami jadi juara dua; di tahun terakhir itu justru pihak sekolah tidak
begitu serius mempersiapkan kami. Tanda-tanda bahwa kami tidak akan ikut begitu
kentara.
Hingga kemudian di hari H; tanpa disuruh,
seluruh siswa yang begitu mencintai kegiatan ini berinisiatif untuk berkumpul
sendiri di lokasi start. Di lokasi kumpul keadaan semakin bertambah parah. Tak
ada guru pendamping yang saya lihat. Di mana Pak Piet (Havurubun – Kepsek), Ibu
Agnes, Pak Urip, Pak Nikolas? Tak ada. Saya ingat betul titik kumpul kami di
Kantor Dinas Pendidikan, tepat di
depan gedung Aksioma sekarang. Jumlah kami sekitar tiga puluhan orang.
Waktu terus berjalan, Zhelfyanus Mangapati tiba diantar bapaknya, ia datang dengan setelan jas; Ellen Markx sudah pakai pakaian adat Bugis Makassar. Dan yang paling penting di cerita ini,
Bintang Rafra a.k.a Ibim. Dialah sang pemimpin kami saat itu. Masih ada yang
lain tapi hanya Ibim yang saya ingat. Dia yang mengatakan, “Ayo, kita pergi
cabut nomor undian saja sendiri!”. Karena biasanya yang ambil nomor adalah
guru, tapi karena tidak ada maka kami sendiri yang harus berjuang.
Meski tanpa guru pendamping, kami tidak
berkecil hati lalu mundur. Kami dapat
nomor undian terakhir dan maju dengan apa yang kami punya. Tidak selengkap dan
sebagus sekolah-sekolah lain, ini harus saya akui. Kami hanya punya modal
semangat. Harus menunggu untuk kemudian ada di garis start. Kami bisa saja kami
pulang dan tidak ikut karnaval. Tapi siapa menyangka, sekelompok anak-anak
sekolah yang hanya punya modal kepolosan dan keberanian bisa terus maju.
Kami kemudian jadi yang terakhir dari deretan
karnaval SMP Tahun 1995. Kami yang pejuang mulai menyalakan api dan bunyi-bunyian itu pun
dimulai, dari Jalan Yos Sudarso
Mandala, Ahmad Yani Yenures, Imam Bonjol, dan Sisingamangaraja. Sepanjang rute kami melaluinya dengan ceria. Saya berharap para guru
yang saat itu tidak datang mendampingi, bisa menonton kami dari pinggiran jalan kota
Biak. Hingga akhirnya kami melewati garis finish di Gelanggang Remaja Biak,. Kami melihat satu sama lain, tersenyum, kadang
ada rasa tidak percaya dan sebagainya. Tapi pastinya kami bangga dengan apa
yang sudah kami buat, ya sekumpulan anak kecil yang mampu memimpin satu sama
lain, bahu membahu sampai selesainya petualangan. Dalam suasana penuh
kebanggaan di senja itu kami akhirnya berpisah karena dijemput orang tua.
Keesokan harinya,
dalam apel pagi di halaman sekolah, Kepala Sekolah kami, Pak Piet Havurubun
dengan gentel memuji keberanian kami. Satu kesan beliau yang tidak bisa saya
lupakan adalah ketika ia mengatakan bahwa yang terpenting bukan kami menjadi
juara atau tidak tetapi kami sudah membuktikan bahwa tanpa guru, siswa mampu
memimpin siswa. Tidak semua sekolah bisa begitu, dan kami sudah membuktikannya.
Kini kegiatan karnaval
sudah berjalan kembali tiap bulan Agustus. Sangat senang melihat papan SMP YPPK
Biak diarak di bagian muka dan adik-adik kami dengan wajah penuh senyuman bisa
berjalan sambil melambaikan tangan. Drum Band, Bhineka Tunggal Ika, Pendidikan,
Kesehatan, Ekonomi, TNI/Polri dan seterusnya. Karnaval 95 telah lama berlalu,
tapi kadang saya masih bisa melihat bayangan kami berlari di antara barisan
adik-adik kami. Sesaat ada sebuah kilasan di sana, saya berdiri memanggil api
lalu berteriak, “Tembak!!”, lalu kami semua tiarap di aspal; para penonton
bersorak. Lalu suara Pak Piet meredup di telinga saya, “…yang terpenting adalah
siswa bisa memimpin siswa!” Daamn!!
*) Gambar-gambar di atas diambil pada Karnaval 2017, tidak satupun yang berasal dari tahun 1995. Setidaknya demikianlah gambaran karnaval yang saya maksud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar