Jumat, 27 Oktober 2017

Karnaval 1995



Kemarin, hari Rabu, 10 Agustus 2011; saya bersama si kecil Lionel berkesempatan menonton karnaval. Kapan terakhir kali saya nonton atau lebih tepat sebenarnya berpartisipasi? Tahun 1997. Tentu sudah sangat lama, apalagi beberapa tahun kemudian, tidak ada lagi karnaval. Kegiatan karnaval dalam rangka memeriahkan HUT Proklamasi RI ini merupakan produk asli zaman Orde Baru. Selama Soeharto berkuasa, selalu ada karnaval di bulan Agustus. Dan di Biak, karnaval adalah tradisi tahunan. Namun setelah Soeharto tumbang, tak ada lagi karnaval.
Dulu waktu saya masih SD, SMP, dan SMA; kegiatan ini disebut Karnaval Pembangunan. Setiap sekolah memamerkan hasil pembangunan yang sudah dicapai (pemerintah) Indonesia. Kegiatan ini selalu dipenuhi antusiasme. Dan jadi acara yang selalu dipikirkan setiap anak sekolah selain ulang tahunnya dan natal (bagi yang kristen).

Tapi sudahlah, saya tidak akan mempersoalkan latar belakang atau apakah karnaval ini sudah mempertunjukkan situasi riil pembangunan yang sedang terjadi. Karnaval pembangunan bisa dilihat dari banyak sudut pandang. Dan kali ini yang ini saya tulis cuma lembaran lalu yang begitu berarti.
Saya berlari mundur ke tahun 1995, kala saya masih kelas 3 SMP. Saya kira situasinya tidak jauh berbeda dengan sekarang; menjelang HUT Proklamasi Kemerdekaan RI, ada banyak kegiatan yang dilaksanakan untuk memeriahkannya. Ada gerak jalan tingkat sekolah, gerak jalan tingkat umum, karnaval pembangunan tingkat sekolah, dan karnaval kendaraan hias. Antusiasme untuk ikut serta begitu terasa menjelang bulan Agustus. Saya mau jadi ini, jadi itu dan sebagainya.
Dua tahun sebelumnya berturut-turut saya selalu jadi pejuang RI hanya karena ingin main meriam karbit. Dalam setahun hanya ada dua kali kesempatan untuk bisa bikin bunyi-bunyian super itu; waktu karnaval dan natal-tahun baru. Pejuang versi karnaval jadi favorit anak-anak yang maunya bebas. Karena barisan pejuang selalu paling belakang dan bisa lari ke sana-kemari tanpa perlu kaku dalam barisan. Dan yang paling penting, para pejuang bisa “tembak” penonton dengan meriam.
Saya sudah tidak ingat kapan waktu tepatnya. Tapi jelas saat itu saya dan teman-teman sudah di tahun terakhir SMP YPPK Biak. Ketika itu pelaksanaan karnaval semakin dekat. Berbeda dengan tahun sebelumnya dimana kami jadi juara dua; di tahun terakhir itu justru pihak sekolah tidak begitu serius mempersiapkan kami. Tanda-tanda bahwa kami tidak akan ikut begitu kentara.
Hingga kemudian di hari H; tanpa disuruh, seluruh siswa yang begitu mencintai kegiatan ini berinisiatif untuk berkumpul sendiri di lokasi start. Di lokasi kumpul keadaan semakin bertambah parah. Tak ada guru pendamping yang saya lihat. Di mana Pak Piet (Havurubun – Kepsek), Ibu Agnes, Pak Urip, Pak Nikolas? Tak ada. Saya ingat betul titik kumpul kami di Kantor Dinas Pendidikan, tepat di depan gedung Aksioma sekarang. Jumlah kami sekitar tiga puluhan orang.
Waktu terus berjalan, Zhelfyanus Mangapati tiba diantar bapaknya, ia datang dengan setelan jas; Ellen Markx sudah pakai pakaian adat Bugis Makassar. Dan yang paling penting di cerita ini, Bintang Rafra a.k.a Ibim. Dialah sang pemimpin kami saat itu. Masih ada yang lain tapi hanya Ibim yang saya ingat. Dia yang mengatakan, “Ayo, kita pergi cabut nomor undian saja sendiri!”. Karena biasanya yang ambil nomor adalah guru, tapi karena tidak ada maka kami sendiri yang harus berjuang.
Meski tanpa guru pendamping, kami tidak berkecil hati lalu mundur.  Kami dapat nomor undian terakhir dan maju dengan apa yang kami punya. Tidak selengkap dan sebagus sekolah-sekolah lain, ini harus saya akui. Kami hanya punya modal semangat. Harus menunggu untuk kemudian ada di garis start. Kami bisa saja kami pulang dan tidak ikut karnaval. Tapi siapa menyangka, sekelompok anak-anak sekolah yang hanya punya modal kepolosan dan keberanian bisa terus maju.

Kami kemudian jadi yang terakhir dari deretan karnaval SMP Tahun 1995. Kami yang pejuang mulai menyalakan api dan bunyi-bunyian itu pun dimulai, dari Jalan Yos Sudarso Mandala, Ahmad Yani Yenures, Imam Bonjol, dan Sisingamangaraja. Sepanjang rute kami melaluinya dengan ceria. Saya berharap para guru yang saat itu tidak datang mendampingi, bisa menonton kami dari pinggiran jalan kota Biak. Hingga akhirnya kami melewati garis finish di Gelanggang Remaja Biak,. Kami melihat satu sama lain, tersenyum, kadang ada rasa tidak percaya dan sebagainya. Tapi pastinya kami bangga dengan apa yang sudah kami buat, ya sekumpulan anak kecil yang mampu memimpin satu sama lain, bahu membahu sampai selesainya petualangan. Dalam suasana penuh kebanggaan di senja itu kami akhirnya berpisah karena dijemput orang tua.
Keesokan harinya, dalam apel pagi di halaman sekolah, Kepala Sekolah kami, Pak Piet Havurubun dengan gentel memuji keberanian kami. Satu kesan beliau yang tidak bisa saya lupakan adalah ketika ia mengatakan bahwa yang terpenting bukan kami menjadi juara atau tidak tetapi kami sudah membuktikan bahwa tanpa guru, siswa mampu memimpin siswa. Tidak semua sekolah bisa begitu, dan kami sudah membuktikannya.
Kini kegiatan karnaval sudah berjalan kembali tiap bulan Agustus. Sangat senang melihat papan SMP YPPK Biak diarak di bagian muka dan adik-adik kami dengan wajah penuh senyuman bisa berjalan sambil melambaikan tangan. Drum Band, Bhineka Tunggal Ika, Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi, TNI/Polri dan seterusnya. Karnaval 95 telah lama berlalu, tapi kadang saya masih bisa melihat bayangan kami berlari di antara barisan adik-adik kami. Sesaat ada sebuah kilasan di sana, saya berdiri memanggil api lalu berteriak, “Tembak!!”, lalu kami semua tiarap di aspal; para penonton bersorak. Lalu suara Pak Piet meredup di telinga saya, “…yang terpenting adalah siswa bisa memimpin siswa!” Daamn!!

 *) Gambar-gambar di atas diambil pada Karnaval 2017, tidak satupun yang berasal dari tahun 1995. Setidaknya demikianlah gambaran karnaval yang saya maksud




Tidak ada komentar:

Posting Komentar